Familia Open Karya Periode 3
MEMANTASKAN BUKAN MEMAKSAKAN
Cerpen by flawsomeaxiom
"Nala! Siapa yang menyuruh main? Sudah sore cepat pulang!"
Teriakan itu cukup membuat seisi ruangan hening. Nala meringis sakit saat telinganya dijewer ibunya cukup keras. Tindakan itu tak lepas dari atensi Hasa yang sejak tadi berdiri menemani adiknya, Sia.
"Ibu sakit, Nala masih pengen main!" pekik Nala sembari menahan tangan ibunya yang terus menjewer tanpa ampun.
Ibunya melepaskan dengan kasar, matanya menajam menatap Nala yang kini dibuat menunduk takut. "Sakit? Itu karena kamu dikasih tahu ngeyel. Ibu sudah bilang jangan main sudah sore nanti Ibu susah mencari kamu tahu enggak?! Ayo pulang enggak usah main-main lagi!" bentaknya membuat Nala dan semua orang yang berada dalam ruangan tersentak kaget.
Nala menangis mendengar bentakan ibunya. "NALA NGGAK MAU PULANG."
Brak.
Pintu digebrak dari luar oleh ibu Nala yang tanpa perasaan membawa anaknya pergi. Suara itu cukup membuat orang di dalam ruangan memegang dadanya menahan keterkejutan, lagi. Bisikan ibu yang tengah mendampingi anaknya bermain pun muncul.
"Kasihan sekali mau main saja dilarang."
"Iya, Ibunya sepertinya tidak bisa mendidik dengan benar."
***
Hasa memberikan sebungkus permen untuk sang adik yang kini tersenyum cerah. "Wah makasih Kak Hasa!"
"Sama-sama, besok kalau main yang tenang kaya tadi ya? Biar kakak kasih permen lagi oke?"
"Oke siap, senang deh main sama Kak Hasa," ucap Sia sembari memeluk permennya. Kakinya melangkah pergi meninggalkan Hasa yang tersenyum di ambang pintu rumah.
"Assalamualaikum, Ibu!"
"Waalaikumussalam, Hasa sudah pulang?"
"Sudah, Bu." Hasa menjawab sembari menyalami ibunya yang baru saja menyapu rumah tampak dari tangan kiri yang memegang sapu ijuk.
Mata Hasa yang semula terarah pada Ibunya kini teralihkan pada sosok yang tengah duduk di kursi ruang tamu membelakanginya.
"Dia tamu Ibu?" tanya Hasa sembari menunjuk sosok itu dengan dagunya.
Ibunya menggeleng, senyumannya terpancar. "Bukan, itu tamu kamu."
"Siapa?" Dahi Hasa mengerut bingung.
Bertepatan dengan itu, sosok itu berbalik membuat kerutan di dahi Hasa hilang tergantikan senyuman lebar dan kaki yang melangkah cepat memeluk sosok itu.
"Wah, Runa datang kapan? Kenapa enggak mengabari Hasa?!"
Runa terkekeh geli, tangannya menepuk punggung Hasa pelan saking kencangnya pelukan teman satunya ini.
Hasa menjauhkan tubuhnya, menatap Runa dengan binar bahagia.
"Ayo main--"
"Jangan. Runa ke sini cuma mau anterin Hasa ini," potong Runa mencegah. Hasa menatap pemberian Runa terkejut. "Wah, Runa mau menikah?!"
***
Satu jam berlalu Runa hanya bisa tertawa kecil mendengarkan celotehan Hasa yang sangat aktif. Meski usai yang sudah menginjak dua puluh tahun, sepertinya tidak menjadikan alasan untuk Hasa berubah kalem. Umurnya mungkin dewasa, tapi sikapnya masih seperti anak remaja.
"Runa, kok bisa cepat banget menikah? Bukannya Runa masih kuliah?" tanya Hasa penasaran.
"Runa sudah siap, jadi meski masih kuliah tetap bisa menikah dong," jawab Runa.
Hasa mengangguk membenarkan. "Iya enggak ada larangan memang. Tapi kenapa cepat banget? Runa bisa siap gitu sih padahal kan nikah berat iya kan?"
"Iya," ujar Runa jujur.
Hasa menjentikkan jarinya. "Nah itu tahu, kenapa buru-buru? Runa sudah siap menjadi ibu? Sudah belajar ilmu parenting belum? Penting loh itu."
Runa menatap Hasa dengan senyuman geli. Ia menarik tangan Hasa untuk digenggam.
"Hasa, tahu enggak?"
"Apa?"
"Hasa ... ilmu parenting itu sebenarnya enggak ada."
"Ada kok, bahkan banyak yang belajar itu. Kamu kudet, deh!" Hasa menepuk bahu Runa ringan.
Runa menggelengkan kepalanya. "Bukan gitu. Sebenarnya kita jadi perempuan hanya perlu perbaiki diri, percantik hati, dan benahi visi."
"Karena wanita yang baik otomatis akan melahirkan generasi yang baik. Apalagi kita sebagai perempuan madrasatul ula yang pertama yaitu ibu kita sebelum kita yang menjadi penerusnya."
"Hah, Runa kok paham banget?"
"Runa masih belajar kok."
"Tapi Hasa heran, tadi pas Hasa menemani Sia di tempat bermain, Hasa dengar ada ibu yang marah karena anaknya main. Itu kenapa ya?"
"Kenapa apanya?"
"Ya, kenapa ibunya itu marah? Apa memang jadi ibu nantinya bakal marah-marah sama anaknya?"
Mendengar pertanyaan Hasa membuat Runa tak bisa menahan tawanya. Hal itu membuat Hasa mendengkus kesal. "Kok Runa ketawa?"
"Habisnya kamu lucu. Ngga semua ibu kayak gitu, buktinya ibunya Hasa enggak gitu kan?"
Hasa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Matanya menatap Runa lekat. "Iya, tapi kenapa ada ibu kayak gitu ya marahi anaknya di depan umum lagi."
"Ya enggak tahu, Runa kan bukan beliau," jawab Runa membuat Hasa kesal.
"Runa jawab yang benar dong. Hasa heran kenapa ada ibu seperti itu? Padahal kata ibunya Hasa kalau menegur itu jangan di depan umum, apalagi sampai marah-marah mana anaknya melawan lagi. Aduh Hasa takut dosa dengarnya," seru Hasa dengan nada serius.
Runa mengangguk paham ke mana arah pembicaraan Hasa. Runa menggeser tubuhnya hingga berhadapan dengan Hasa. Senyuman tipis terpasang apik di bibirnya.
"Benar apa kata Hasa. Tapi namanya manusia, enggak ada yang tahu bagaimana sifatnya, sikapnya, sama dirinya sendiri atau sama anaknya tadi. Runa enggak menyalahkan atau membenarkan salah satunya, tapi menurut Runa, dua-duanya salah cuma ibunya lebih bersalah dalam kasus ini."
"Kenapa ibunya?" tanya Hasa bingung.
"Ya, karena menurut yang Runa pelajari selama ini, ibu itu madrasatul ula sebelum anak-anaknya mendapat ilmu dari tempat lain."
"Jadi menurut Runa ibu itu kurang baik mendidiknya jadi si anak melawan hingga harus dipaksa?" Hasa melontarkan tanya. Runa menanggapi dengan gelengan.
"Baik tidaknya Runa pikir iya kurang baik. Karena kalau ibunya mendidik dari rumah dengan baik tanpa kekerasan baik ucapan ataupun sikap, Runa yakin anak itu enggak akan melawan bahkan enggak harus dipaksa agar mau pulang "
Hasa mengetuk jari di dagunya. "Iya benar juga, sih," ujarnya.
Namun sepertinya Hasa masih belum puas, ia pun kembali bersuara, "Jadi Runa sudah tahu kriteria ibu yang bisa mendidik anak dengan baik dari mana? Sepertinya Runa sudah ahli banget padahal enggak ikut belajar parenting."
Mendapati tatapan heran Hasa membuat Runa terkekeh sebentar lalu memasang wajah bersahabat.
"Hasa, Runa kan masih belajar. Baru sedikit tapi prinsip Runa cukup menjadi perempuan yang baik untuk bisa menjadi madrasatul ula yang baik bagi anak-anakmu nanti. Karena apa yang diamalkan lebih baik penerapannya dibanding hanya teori yang didapatkan."
"Oh Runa hebat," puji Hasa.
"Tapi Hasa masih bingung cara biar bisa jadi calon ibu yang baik tanpa belajar parenting buat anak gimana?"
Hasa menatap Runa meminta penjelasan. Runa yang memahami pun mengangguk.
"Runa mau ajak Hasa membayangkan mau?"
"Apa?"
"Coba bayangkan Hasa belajar parenting sudah sampai khatam, niatnya mau diterapkan ke anak. Nah, suatu hari tanpa sadar Hasa melakukan kebiasaan buruk yang Hasa simpan dari anak Hasa, pasti entah kapan anak Hasa akan tahu kebiasaan Hasa. Jadi dibanding cuma mempelajari teori hanya untuk diterapkan ke anak Hasa mending Hasa belajar buat diri sendiri jadi ibu yang baik untuk bisa ditularkan ke anak Hasa."
"Runa ... benar juga katamu. Wah enggak menyangka Runa memang sudah cocok jadi ibu yang baik."
Hasa dan Runa hanya tertawa menyudahi percakapan mereka yang terbilang cukup berat. Meski begitu tidak menjadi masalah karena Hasa jadi tahu bahwa peran ibu sebagai madrasatul ula adalah yang utama.
"Jadi kesimpulannya?" Hasa menatap Runa dengan cengiran yang dibalas Runa dengan senyuman.
"Jadi pantaskan diri Hasa biar nanti Hasa tidak perlu susah harus memaksa anak Hasa jadi seperti yang Hasa harapkan. Karena ketika Hasa memantaskan maka Hasa bisa dengan mudah menularkan ke anak Hasa tanpa paksaan. Benar kan Runa?"
"Yup, memantaskan lebih baik daripada memaksakan."
Komentar
Posting Komentar